🐼 Cerita Silat Mandarin Pendekar Matahari

Asmaramansukowati atau kho ping hoo (juga dieja kho ping ho , hanzi: Cersil (cerita silat) jaka santang merupakan salah satu karya pengarang legendaris yang bernama s. Ketika itu media televisi hanya tvrimilik pemerintah. Dongeng Sunda Jaka Santang, Merupakan Salah Satu Cerita Silat Dari Tatar Pasundan Jawa Barat. PendekarTeratai Biru terkesiap sejenak melihat kemampuan Ciang Hui Ling untuk menghindar dan bahkan menyerang balik. Pendekar wanita setengah tua ini mengumpat-umpat karena dia harus menahan tusukannya kalau tidak mau lengannya tergores ujung pedang Ciang Hui Ling. Dari mulutnya berhamburan nama-nama binatang menjijikkan. CeritaSingkat Pendekar Cisadane : Cisadane Sungai Suci Pada Masa Kerajaan Pajajaran Semua Halaman Bobo : pendekar rajawali sakti merupakan cerita silat indonesia karya teguh ini mengisahkan perjalanan seorang pendekar bernama rangga yang bersenjata pedang bergagang kepala burung rajawali serta mempunyai tunggangan seekor burung rajawali raksasa dengan gelar pendekar rajawali sakti CeritaSilat Pendekar Matahari - Gelandangan (01) Bab 01. Jago Pedang. Matahari Telah Lenyap, Daunpun Berguguran Terhembus Angin Dingin. Seseorang . Pendekar Matahari Adalah Cersil Proyek Keroyokkan Kedua Yang Dipelopori Oleh. Cita-cita Menulis Cerita Silat Yang Sangat Panjang Dapat Diwujudkan Dengan . Tak Seorang Pun KOLEKSICERITA SILAT INDONESIA MANDARIN & JEPANG Minggu, 05 Juli 2015. WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 "Pendekar Pemetik Bunga, kedatanganmu sungguh tak kami duga. Sampai pagi, sampai ketika matahari muncul di utuk timur desa Sebuahkeindahan jurus silat sekaligus ketangguhan yang sulit dicari tandingannya. Tidak satu pun senjata yang dilepaskan dari segala arah itu menembus lingkaran payung bunga matahari. Golok, pedang pendek, anak panah, bahkan tombak, seakan-akan membentur sebuah dinding baja. cersilsilat pendekar ceritasilat wuxia prs kungfu manhua gulong khulung cinkeng mandarin khopinghoo laga pedang kph jurus chinyung petualangan Cerita Silat ini mengisahkan tentang Hee Thian Siang yang keblinger pada seorang gadis kangouw yang hanya pernah dilihatnya dari jarak jauh. mandarin; pendekar; silat +9 lagi # 15. Serial Cersilmandarin sepasang pedang iblis 2 tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. Namun peta kuno yang berisi rahasia ilmu silat peninggalan jenius silat ratusan tahun yang lalu. Mungkinkalau mau dibandingkan dengan cita2 kids jaman now yang pingin jadi Youtuber, cita2 sebagian besar anak di tahun 90'an selain jadi rockstar, adalah pingin jadi pendekar Kungfu. Mereka berpikir, bahwa menjadi ahli Kungfu yang menguasai jurus 9 Matahari (九陽真經) milik Zhang Wuji (Thio Bu Ki), atau 18 Tapak Penakluk PendekarMatahari Pdf. Cersil 14 jodoh si naga langit tamat kho ping hoo pdf download tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. Cersil pdf hina kelana 2 ( mentertawakan dunia persilatan. CeritaSilat Mandarin Terbaru I Luv mail saya: baronitc61 @gmail.com. Saya akan menghapus cerita itu dari blog ini. DUNIA KANG-OUW: CERITA SILAT MANDARIN cerita silat mandarin pendekar matahari kho ping hoo indonesia cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online Page 13/42 PendekarBunga Matahari Jilid 13 : Hangatnya Cinta di Tengah Laga 6 min read Hangatnya Cinta di Tengah Laga MATAHARI makin rebah di balik rapatnya pepohonan hutan. Kehangatannya makin pudar disapu tiupan angin sore dari arah gunung. Namun, pertempuran di lahan kosong di tengah hutan itu makin memanas. IvA4W4J. Tarian Sepasang Pendekar DARI delapan penjuru mata angin berlesatan berbagai macam senjata. Semuanya melesat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Semuanya memiliki ujung yang tajam mengarah kepada titik-titik rawan di tubuh Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Semuanya sudah diarahkan dengan perhitungan yang terencana. Tidak hanya delapan ternyata. Sebab, dari tiap arah mata angin melesat tidak hanya satu senjata, tetapi dua, tiga, empat, lima .... Semuanya meluncur berturutan tanpa jeda dalam sekian kejap. Bunyinya mendesing-desing menyibak udara. Setiap desing menebarkan ancaman yang mematikan. Untunglah, baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling sudah bersiap menghadapi kemungkinan seperti ini. Jaka Wulung tidak mau menghadapi risiko sekecil apa pun, misalnya salah satu senjata yang datang beruntun itu lolos dari tangkisannya dan mengenai Ciang Hui Ling. Dia pun berharap Ciang Hui Ling mampu juga menepis semua senjata yang mengarah kepada dirinya. Jaka Wulung langsung menerapkan ilmunya sampai taraf yang tinggi. Sejak tadi, dia sudah mengatur napasnya sedemikian rupa sehingga dari tenggorokannya tak tertahankan lagi mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman. Seperti suara harimau Lodaya .... Grrrhhh! Bersamaan dengan itu, kudi hyang di tangannya bergerak dengan kecepatan sulit diukur, serta tenaga yang di luar kewajaran manusia, menangkis satu per satu senjata mana pun yang mengarah kepada dirinya. Yang terlihat hanyalah ujung kudi hyang yang meliuk-liuk menciptakan garis cahaya yang tampak tidak beraturan. Tang! Ting! Trak! Bunga-bunga api bepercikan ke segala arah. Senjata-senjata itu pun seperti membentur perisai tidak kasatmata, sebagian beterbangan kembali ke arah datangnya semula, sebagian lagi melenting setelah patah di bagian tengah dan jatuh lima-enam langkah di sekeliling Jaka Wulung. Pada saat yang sama, seraya menggerakkan tubuhnya mengikuti setiap senjata yang mengarah kepada dirinya, Ciang Hui Ling memutar pedangnya, membentuk lingkaran yang makin lama makin besar dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Demikian cepatnya putaran pedang itu sehingga tampak seperti payung terbuka, dengan suara yang mendesing- desing, diselingi bunyi benturan yang berdenting-denting, dan dihiasi bunga-bunga api yang bisa membuat mata terpicing-picing. Di bawah berkas-berkas sinar matahari yang makin membias, putaran pedang itu memberikan warna yang indah sekali, sekaligus mengerikan. Jurus Tarian Payung Bunga Matahari. Sebuah keindahan jurus silat sekaligus ketangguhan yang sulit dicari tandingannya. Tidak satu pun senjata yang dilepaskan dari segala arah itu menembus lingkaran payung bunga matahari. Golok, pedang pendek, anak panah, bahkan tombak, seakan-akan membentur sebuah dinding baja. Semua terpantul, melenting, atau terlontar balik untuk kemudian bergeletakan menjadi benda mati belaka. Beberapa kejapan hujan senjata itu memberondong Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dari segenap penjuru hutan. Beberapa kejapan itu pula, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling melakukan gerak tingkat tinggi yang sangat selaras sehingga sekilas lintas tampak seperti gerak yang biasa ditampilkan para penari mahir. Tentu saja, gerak ilmu silat dan tarian memang seperti dua wajah dalam permukaan keping uang yang sama. Beberapa kejapan, sepasang pendekar belia itu memperlihatkan tarian yang elok tersebut sebelum kemudian berhenti, karena tidak ada lagi senjata yang melesat ke arah mereka. Senjata-senjata berserakan seperti mayat-mayat di Kurusetra. Udara lengang. Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri tegak dengan kaki-kaki selebar pundak, dan senjata-senjata tetap tercengkeram dalam genggaman. Keduanya menunggu, kejutan apa lagi yang akan mereka hadapi. Angin seperti mati dan langit yang mulai kelabu menebarkan tabir sunyi. Akan tetapi, kesunyian itu segera pecah oleh gelombang tawa yang melanda dari empat arah mata angin. Gelombang tawa itu susul-menyusul disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat kuat. Apa yang terdengar oleh indra telinga memang hanyalah suara tawa biasa. Tapi, yang tertangkap oleh indra perasa adalah bunyi dentuman yang menghantam- hantam, seperti palu godam. Hantaman yang bergelombang itu meresap jauh hingga ke dalam tubuh, masuk ke simpul-simpul saraf, mengikuti aliran di pembuluh darah, meliuk-liuk lalu merajam-rajam selaput jantung. Orang biasa yang mendengar tawa seperti itu tidak akan mampu bertahan lama karena jantung mereka akan berdenyut cepat, sangat cepat, di luar sadar mereka, lalu riwayat mereka akan segera berhenti dengan darah yang tertumpah dari mulut mereka. Mereka akan tewas tanpa menyadari apa sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi, dua orang yang berdiri di tengah lahan kosong di tengah hutan itu adalah Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, dua pendekar belia yang sudah memiliki bekal ilmu yang cukup untuk mengarungi dunia kejam persilatan. Jaka Wulung tidak percuma mendapat julukan Titisan Bujangga Manik. Dia sadar bahwa gelombang tawa yang dilepaskan dua atau tiga orang sekaligus itu bukanlah tawa sewajarnya. Karena itu, sejak awal dia segera membangun pertahanan di segala simpul saraf dan pembuluh darah yang pasti akan mendapat serangan gelombang tawa. Serangan gelombang tawa itu seakan-akan pecah seperti gelombang laut yang pecah dibelah karang. Pecah berkeping-keping menjadi gelombang yang lemah, lalu lenyap, seolah-olah butir air yang sirna diserap pasir gurun. Akan tetapi, mendadak Jaka Wulung merasakan satu gelombang lain yang menebar dari belakangnya, menembus bajunya dan meraba permukaan kulit punggungnya. Gelombang pengerahan tenaga untuk melawan gelombang tawa. Ciang Hui Ling menghadapi saat-saat genting ketika upayanya untuk menahan gelombang tawa nyaris tiba pada titik kekalahan. Tubuhnya bergetar nyaris tidak terkendalikan. Jaka Wulung tersadar bahwa ketika mengetahui serangan gelombang tawa itu tidak mampu melumpuhkannya, dua atau tiga penyerang itu mengarahkan serangannya lebih terpusat kepada Ciang Hui Ling. Sekian gelombang tawa bersatu menjadi satu, saling menguatkan, menimbulkan serangan gelombang yang sangat mematikan! Tanpa bersentuhan pun, Jaka Wulung merasakan betapa tubuh Ciang Hui Ling bergetar makin lama makin hebat. “Bertahanlah, Lingling,” bisik Jaka Wulung. Tanpa membalikkan badannya, Jaka Wulung mendekati Ciang Hui Ling, menempelkan punggungnya ke punggung gadis itu. Rapat. Terasa punggung Ciang Hui Ling basah oleh keringat. Jaka Wulung lekas memusatkan tenaga dalamnya, menyalurkannya keluar dari titik-titik simpul saraf di punggungnya, menembus pakaian keduanya, lalu meresap masuk ke tubuh Ciang Hui Ling melalui titik-titik simpul saraf di punggung gadis itu. Ciang Hui Ling segera merasakan hawa yang sejuk, tapi memiliki kekuatan yang dahsyat untuk melawan gelombang tawa yang nyaris mencabik-cabik jantungnya. Terjadi pertempuran tak kasatmata yang dahsyat antara gelombang tawa yang kekuatannya berlipat dengan tenaga bantuan Jaka Wulung ke tubuh Ciang Hui Ling. Perlahan-lahan, denyut jantung Ciang Hui Ling mereda menuju bilangan yang sewajarnya. Detik demi detik pula gelombang tawa dari lawannya melemah, seakan-akan membentur lapisan dinding peredam suara. Kini, Ciang Hui Ling sudah bisa kembali bernapas seperti biasa. Sejalan dengan itulah, gelombang suara tawa itu pun perlahan-lahan mereda, lalu lenyap, menyisakan udara yang kembali dilapisi sunyi. Kesunyian yang tetap mencekam. Dalam hitungan tidak sampai delapan, dari arah timur, tepatnya dari arah sebelah kiri Jaka Wulung, muncul tiga orang lelaki. Secara bersamaan, Jaka Wulung memutar tubuhnya ke kiri, sedangkan Ciang Hui Ling memutar tubuh ke kanan. Keduanya kini sama-sama menghadapi kemunculan tiga lelaki itu dan bersiap menghadapi kemungkinan baru. Akan tetapi, ketiga orang itu berjalan tegak dengan langkah yang biasa- biasa saja. Pelan dan penuh dengan rasa percaya diri. Pedang panjang menggantung di pinggang masing-masing. Salah seorang dari mereka, yang kelihatan paling tua dan menjadi pemimpin di antara mereka, melangkah paling depan. Dua yang lainnya mengapit di kiri dan kanan, agak ke belakang, seperti dua pengawal seorang pangeran. Ketiganya sama-sama memiliki tubuh tinggi tegap, dengan wajah-wajah yang mirip satu sama lain, dengan kumis yang sama-sama tebal menghias wajah tampan mereka, disertai tatapan tajam kepada Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Tampan tapi menyeramkan. Busana yang mereka kenakan terbuat dari bahan kain yang bermutu tinggi meskipun warna birunya sudah memucat. Begitu pula dengan corak ikat kepala mereka. Dari situ pun sudah jelas bahwa ketiga lelaki itu adalah lelaki bangsawan, boleh jadi keturunan keraton. Lima langkah di hadapan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, ketiga orang itu berhenti. Lelaki yang paling tua, berusia sekitar empat puluh tahun, memandang Jaka Wulung dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu memandang Ciang Hui Ling beberapa kilas dengan kening berkerut. Lelaki itu kembali menatap tajam Jaka Wulung. Jaka Wulung balas menatap lelaki itu. Lelaki itu mengejapkan mata sebelum berdeham. “Hmmm ..., inikah bocah yang mengaku dirinya Titisan Bujangga Manik?” Suaranya terdengar bergetar, seperti keluar dari tabung yang bocor. Mungkin ada masalah pada pita suaranya. Jaka Wulung masih menatap lelaki itu tanpa berkedip. Lalu, katanya dengan suara yang hampir berbisik, “Apakah aku mengenal Ki Dulur?” Lelaki itu menggeretakkan giginya. “Kau sungguh sombong, Bocah.” Kali ini, Jaka Wulung-lah yang mengerenyitkan dahinya. “Maaf, Ki Dulur, rasanya ini bukan persoalan sombong atau tidak. Seperti yang mungkin Ki Dulur lihat, aku hanyalah seorang bocah, belum banyak mengenal dunia, belum bisa memilah mana sikap sombong dan mana sikap yang rendah hati.” “Oho, kau juga pandai bersilat lidah.” “Tentu saja, Ki Dulur. Bukankah lidahku tidak bertulang?” Jaka Wulung merasa sudah kepalang tanggung. Lelaki itu menggeretakkan giginya lagi. Kali ini lebih keras sehingga berbunyi seperti ranting patah. “Kau membuatku marah, Bocah,” ucapnya, dengan suara yang tambah bergetar. Jaka Wulung tertawa pelan. “Aneh,” katanya kemudian. “Mestinya akulah yang marah, Ki Dulur. Ada urusan apakah antara kami berdua dan kelompok Ki Dulur sehingga kami dijebak sampai di sini?” Lelaki itu tertawa. Suaranya sumbang. Dan dari suara tawanya itu, Jaka Wulung menduga kuat bahwa gelombang tawa yang menyerangnya tadi bukanlah berasal dari lelaki di hadapannya. Siapa ketiga lelaki ini? Dan siapa orang-orang yang berada di belakang mereka yang masih bersembunyi di kedalaman hutan di sekitar tempat itu? Apakah guru mereka? Jaka Wulung makin meningkatkan kewaspadaan. “Bocah, kau sadar bahwa kalian sudah terjebak. Tak ada jalan keluar bagi kalian dari tempat ini, sehebat apa pun ilmu kalian.” Lelaki itu berhenti sebentar. Lalu katanya, “Hanya satu cara supaya kami berbaik hati memberi jalan bagi kalian untuk pergi dengan selamat.” Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Menunggu kata-kata selanjutnya dari bibir lelaki itu. “Berikan kantongmu.” Kata-kata lelaki itu pastilah jelas terdengar oleh siapa pun yang berada di sekitar lahan kosong di tengah hutan itu, termasuk oleh orang biasa yang tidak punya kemampuan lebih. Namun, Jaka Wulung, pendekar belia yang daya tangkap telinganya jauh melebihi manusia kebanyakan, justru tidak sepenuhnya percaya bahwa dua kata itulah yang memang benar-benar diucapkan lelaki itu. “Apa kata Ki Dulur?” tanya Jaka Wulung. Lelaki itu kelihatan tidak bisa menahan dirinya. “Kukira kata-kataku sangat jelas, Bocah.” “Hmmm ...,” Jaka Wulung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Rupanya, Ki Dulur sekalian ini perampok yang keliru memilih sasaran.” “Jangan banyak bacot, Bocah. Kami bukan perampok. Cepat serahkan kantongmu.” “Oh, kata-kata Ki Dulur tambah kasar saja. Rupanya begitulah kata-kata khas para perampok, begal, dan sebagainya.” “Persetan dengan kata-katamu,” kata lelaki itu seraya mencengkeram gagang pedangnya. “Jangan sampai kami berbuat kasar kepada kalian!” Jaka Wulung mengerutkan kening, lalu kembali menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Dia menoleh kepada Ciang Hui Ling. “Selain terjebak di tempat antah-berantah, Lingling, kita juga terjebak dalam penalaran yang aneh. Bukankah kita sudah sejak tadi diperlakukan secara kasar?” “Para perampok selalu punya penalaran sendiri,” sahut Ciang Hui Ling. “Ya, penalaran para perampok.” “Diaaam!” Lelaki itu menarik pedang dari pinggangnya, lalu mengacungkan ujungnya lurus ke wajah Jaka Wulung. “Cepat lemparkan kantongmu!” Jaka Wulung masih berdiri bingung. Di luar sadarnya, dirabanya kantong kainnya di pinggang. Apa yang membuat kantongnya menarik perhatian orang-orang itu? Mengapa demi kantong itu, dia sampai digiring hingga jauh dari masyarakat ramai, dan dijebak hingga di dalam hutan? Kantong kain kecil itu hanyalah berisi sepasang baju dan celana pengganti, beberapa keping uang yang tidak seberapa, pisau pangot, beberapa lempir daun lontar .... Jaka Wulung mulai bisa meraba apa yang mereka incar. “Cepat lemparkan!” Pendekar belia itu mengerutkan keningnya. “Maaf, Ki Dulur, tak ada barang berharga dalam kantongku ini. Aku hanya membawa beberapa keping uang ” “Kami tidak butuh uangmu. Kami ingin kitab yang kau bawa!” Kata-kata lelaki itu membenarkan dugaan samar yang sempat terlintas di kepala Jaka Wulung. Namun, Jaka Wulung pura-pura terkejut dengan mulut ternganga. “Kitab?” Tangannya mengusap-usap kain kantongnya. “Kitab apa?” “Sudahlah, tidak perlu berkelit.” “Aku cuma bertanya, kitab apa? Lagi pula, bagaimana Ki Dulur menyimpulkan bahwa aku membawa kitab yang Ki Dulur inginkan dalam kantong ini?” “Kalau kau mengaku Titisan Bujangga Manik, kalau kau benar-benar murid Resi Bujangga Manik, atau setidaknya murid Resi Darmakusumah, kau tentu tahu di mana keberadaan kitab-kitab yang pernah dicuri dari Keraton Pajajaran, terutama Kitab Siliwangi.” Tiba-tiba, ingatan Jaka Wulung melayang pada cerita Resi Darmakusumah, gurunya, mengenai pengalamannya tatkala menyelamatkan tiga kitab yang tersisa dari puluhan kitab pusaka Kerajaan Sunda, ketika Keraton Pakuan Pajajaran dibumihanguskan oleh pasukan Banten. Ketiga kitab itu adalah Patikrama Galunggung, yang ditulis oleh Prabu Darmasiksa, naskah Bujangga Manik, karya eyang gurunya, Resi Jaya Pakuan alias Resi Bujangga Manik, dan satu lagi kitab tanpa judul, yang oleh kalangan keraton disebut Kitab Siliwangi, yang konon ditulis oleh Prabu Siliwangi sendiri. Ketika baru saja menyelamatkan tiga kitab itulah, Resi Darmakusumah dicegat oleh sekelompok orang yang juga mengincar kitab-kitab itu. “Ah, Ki Dulur pastilah Munding Wesi bersaudara,” kata Jaka Wulung. [] Kala pagi datang, matahari dengan setia menyambut. Memberikan sinar yang cerah bagi seluruh makhluk di dunia. Kala sore akan pergi, dengan lembutnya matahari terbenam, turun hingga tak terlihat. Di kala itu sang bulan dengan setianya menggantikan matahari. Menerangi alam ini yang gelap gulita. Tak ketinggalan bintang pun setia menemani sang bulan.... memberikan kilaunya yang indah. Puncak gunung Ko-San diselimuti awan. Malam itu tidak cerah. Gumpalan awan hitam terlihat menghalangi cahaya jutaan bintang yang bertebaran di langit. Angin menderu dengan perlahan, sesosok tubuh seorang pemuda yang baru menanjak dewasa terlihat mulai menggigil di tengah embusan angin malam. Pakaian tipis namun bersih yang dikenakannya tidak mampu menghilangkan rasa dingin yang menggigit tulang. Wajahnya yang cukup tampan terlihat pucat pasi dan kesan gagah dari tubuhnya yang tegap sedikit menghilang. Yang cukup mengherankan adalah keberanian pemuda itu mendaki puncak gunung yang terkenal akan lereng-lereng dan jurang yang curam. Para pemburu binatang yang paling ahlipun akan berpikir seribu kali sebelum memutuskan mendaki puncak gunung Ko-San ini, terlebih di malam hari yang kelam seperti ini. Dengan wajah penuh tekad, pemuda itu meneruskan perjalanan panjang menembus kegelapan malam di tengah angin dingin yang menderu kencang. "Semoga peta petunjuk ini benar adanya, kalau tidak sungguh sia-sia aku melakukan perjalanan sejauh ini" batin si pemuda sambil tangannya meraba kantung baju sebelah kiri dan mengeluarkan secarik kain tua dengan hati-hati seolah-olah sangat takut kehilangan kain tersebut. Terbayang ketika ia tanpa sengaja memperoleh peta yang diburu oleh segenap kaum sungai telaga dari seorang pengemis tua yang ditolongnya di tepi hutan belantara di keresidenan Siang-Yang. Pengemis tua itu sudah empas-empis nafasnya ketika ia melewatinya. Didorong rasa kasihan si pemuda merawat pengemis tua itu dengan telaten. Ia merasa kasihan melihat pengemis tua yang tiada sanak saudara, di waktu ajalnya yang sudah mendekat, sendirian dan sakit-sakitan. Sungguh dirinya tak menyangka sama sekali, seorang pengemis tua yang sakit parah dan sebentar lagi meninggalkan dunia yang fana ini, memiliki barang mestika yang diincar kaum persilatan selama puluhan tahun ini. Belum sempat menanyakan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut, pengemis tua tersebut menghembuskan nafasnya yang terakhir di pangkuan seorang pemuda yang tidak dikenalnya sama sekali namun merelakan satu-satunya barang pusaka yang dimilikinya kepada si pemuda tersebut. Singkat cerita setelah mengubur pengemis tua tersebut, si pemuda yang bernama Sie Han Li, dengan hati yang berdebar-debar membuka kain tua peninggalan pengemis tersebut. Ternyata kain tua tersebut melukiskan suatu pemandangan puncak gunung disertai tulisan-tulisan yang tidak dimengertinya. Kelihatannya huruf-huruf yang tertera di atas kain itu berasal dari luar daratan, mungkin berasal dari negeri Thian-Tok India, duga Sie Han Li. Walaupun sebagai seorang yang baru terjun di dunia kangouw, namun peta kuno yang berisi rahasia ilmu silat peninggalan jenius silat ratusan tahun yang lalu, sudah didengarnya sejak ia baru belajar ilmu silat. Kabarnya siapa yang berhasil mempelajari rahasia ilmu silat "Matahari" peninggalan maha guru tersebut akan menjagoi dunia persilatan, hingga tidak heran peta kuno tersebut dicari-cari kaum persilatan. Sayangnya, hingga puluhan tahun sejak tersiar kabar mengenai peta kuno tersebut, tiada seorangpun yang tahu di tangan siapa peta kuno itu berada. Lambat laun seiring waktu kehebohan itu mereda dan mulai dilupakan orang. Tapi beberapa bulan belakangan ini, pencarian peta kuno tersebut kembali menghangat sejak diterima berita bahwa peta kuno tersebut berada di tangan seorang pendekar tua yang dikenal dengan julukan Pat-ciu-sian-wan Lutung sakti tangan delapan. Pat-ciu-sian-wan sendiri hanya dikenal oleh kaum persilatan sebagai jago silat kelas dua, suka hidup menyendiri tanpa sanak saudara, sering berkelana dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Sejak berita tersebut tersiar ke seluruh penjuru sungai telaga, nama Pat-ciu-sian-wan menjadi bahan pembicaran dan di cari oleh kaum persilatan yang ingin merebut peta kuno tersebut. Kelanjutannya mudah ditebak, pertempuran sengit, bunuh membunuh membuat dunia persilatan yang selama ini tenang kembali bergolak kencang. Selama beberapa bulan belakangan ini, dunia persilatan dilanda kekacauan hebat hanya oleh secarik kain tua berisi rahasia ilmu silat mandraguna. Kembali ke Sie Han Li, menyadari peta tersebut sangat berharga dan bahaya yang mengancamnya apabila sampai diketahui umum bahwa dirinyalah yang berhasil mendapatkan peta kuno tersebut, Sie Han Li segera menyimpan kain kuno tersebut dan hanya ia keluarkan apabila yakin tak ada seorangpun yang melihatnya. Melalui serangkaian usaha yang melelahkan selama beberapa bulan ke depan, akhirnya Sie Han Li mengetahui bahwa pemandangan puncak gunung seperti yang terlukis di peta kuno itu merupakan gambar puncak gunung Ko-San. Penemuan tersebut juga terjadi tanpa disengaja ketika ia memasuki sebuah kedai arak di tengah kota Peking yang megah. Di salah satu dinding kedai arak tersebut tergantung sebuah lukisan pemandangan gunung yang sangat indah. Begitu melihatnya hati Sie Han Li berdesir, gambar puncak pegunungan tersebut sungguh mirip dengan gambar yang tertera di peta kuno. Kejadian yang begitu kebetulan, sungguh jarang terjadi. Melalui salah seorang pelayan kedai tersebut, Sie Han Li mendapat tahu nama si pelukis yang tinggal di pinggir kota Peking. Dari keterangan pelukis itulah akhirnya Sie Han Li mendapat tahu gambar pemandangan itu adalah gambar yang melukiskan puncak gunung Ko-San. Begitu mengetahui gambar yang tertera di peta kuno tersebut adalah gambar pemandangan salah satu puncak gunung Ko-San, tanpa membuang-buang waktu segera melakukan perjalan an ke pegunungan Ko-San. Sejauh ini dirinya berhasil menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut namun akibat sedikit keteledorannya, rahasia tersebut berhasil diketahui orang. Dalam perjalanan menuju puncak gunung Ko-San, pada suatu hari yang cerah ketika matahari bersinar terang dan burung-burung berkicauan di antara pepohonan yang rimbun, di pinggir jalan setapak di tepi hutan, Sie Han Li beristirahat sejenak melepaskan lelah. Dia duduk di bawah pohon yang rimbun dengan semilir angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang masih belum hilang kanak-kanaknya dengan lembut. Sie Han Li diam beberapa saat menikmatinya, matanya menyusuri jalan setapak yang saat itu lenggang, hanya suara desir angin menyapu indah berbaur debu. Merasa nyaman, Sie Han Li untuk ke sekian kalinya mengeluarkan peta kuno dari saku bajunya. Entah berapa puluh kali ia mengamati secarik kain berisikan gambar peta yang melukiskan pemandangan puncak gunung Ko-San tersebut. Setiap kali melihatnya, semakin bingung dirinya. Di samping tidak mengerti sedikitpun huruf-huruf yang tertulis di peta, jalan-jalan yang digambarkan membuatnya bingung juga. Ingin sekali secepatnya tiba di puncak gunung Ko-San, petunjuk jalan di peta ini lebih dapat dimengerti, gumamnya sambil mengamati peta tersebut. Begitu tengelamnya ia dalam lamunan sehingga derap kaki kuda yang lamat-lamat terdengar di kejauhan tak didengarnya. Derap kaki kuda itu semakin mendekat, tahu-tahu dari ujung belokan di depan jalan setapak itu muncul seekor kuda dengan irama teratur menghentakkan Sie Han Li dari lamunannya. Buru-buru ia memasukkan tangannya yang memegang peta kuno itu ke dalam saku. Namun kelihatannya sudah terlambat, si penunggang kuda itu adalah seorang pria berusia seikitar empat puluh tahunan dengan wajah berewok dan sinar mata yang tajam, menyiratkan kecerdikan dan kekejaman sekaligus. "Bocah muda, benda apa yang engkau pegang di tanganmu itu, coba kemarikan untuk kulihat" perintah si penunggang kuda dengan suara yang menggelegar. Melihat yang datang adalah seorang pria yang gelagatnya tidak mempunyai niat baik terhadapnya, dengan cerdik Sie Han Li berlagak seperti orang desa. "Maaf Tuan, benda itu bukan barang berharga, hanya sebuah sapu tangan pemberian ibuku" jawab Sie Han Li berlagak ketakutan. Sebenarnya pria di atas tunggangan itu adalah seorang kepala perampok yang kebetulan lewat, dalam perjalanan menemui gerombolannya yang bermarkas di sebelah dalam hutan. Dia bernama Coa Kiu dan biasa di panggil tai-ong oleh para pengikutnya. Gerombolan pimpinan Coa Kiu ini sangat terkenal dan ditakuti para saudagar-saudagar, hartawan, yang melintasi daerah ini. Pihak pemerintah sendiri sudah berulangkali berusaha menumpas gerombolan perampok ini dibantu oleh pendekar-pendekar silat setempat. Namun sejauh ini tidak berhasil, bahkan banyak korban yang berjatuhan baik para prajurit pemerintahan maupun para pendekar setempat. Kelihaian ilmu silat Coa Kiu termasuk kelas satu hingga tidak heran para prajurit dan pendekar setempat kewalahan menghadapinya. Selama belasan tahun ini, gerombolannya malang melintang tanpa tandingan. Di samping ilmu silat yang tinggi, Coa Kiu sendiri memiliki hubungan yang baik dengan sesama kalangan hitam di dunia persilatan dan kalangan pejabat pemerintahan yang korup. Ia tidak segan-segan memberikan hadiah-hadiah mahal buat para sahabatnya itu. Di samping itu, Coa Kiu sendiri tidak mau terlalu gegabah dalam bertindak. Ia tidak pernah menganggu kaum kangouw yang kebetulan melintas, para pejabat pemerintahan dan perusahaan piuwkiok perusahaan pengantar barang yang telah memberi upeti. Kepura-puranan Sie Han Li yang baru terjun di sungai telaga tentu saja tidak dapat mengelabui Coa Kiu yang berpengalaman puluhan tahun. "Ha..ha..ha..bocah tengik, engkau tidak usah berpura-pura bodoh. Sebaiknya segera engkau keluarkan barang yang ada disaku bajumu itu, apabila benda itu cukup berharga buatku, engkau akan akan kubiarkan engkau berlalu dari sini, tapi kalau tidak hmmm tahu sendiri akibatnya" Raut wajah Sie Han Li berubah cepat dari ketolol-tololan menjadi biasa kembali bahkan terbayang keangkuhan yang tinggi tanda ia tidak sudi dihina orang. "Kalau aku tidak mau menyerahkannya bagaimana?" tantangnya "Sungguh bocah yang berani tapi kali ini engkau terbentur ditanganku, jangan harap engkau lolos!" seru Coa Kiu sambil melompat turun dari kuda tunggangannya. Gerakannya sangat lincah dan mantap. Sie Han Li sendiri berdiri dengan tenang menanti serangan lawan. Tanpa basa-basi begitu kedua kakinya hinggap di atas tanah, Coa Kiu langsung mencabut golok yang berada di punggungnya, menyambar ke arah Sie Han Li dengan hebatnya. Biarpun kelihatannya Coa Kiu menganggap remeh Sie Han Li namun dirinya tetap berhati-hati. Sikap hati-hati ini sudah terbukti berulangkali menyelamatkannya dari beberapa peristiwa selama berkecimpung di sungai telaga. Dengan gerakan yang tenang Sie Han Li memutar tubuh menghindari sabetan golok lawan. Melihat serangan pertamanya gagal, Coa Kiu menyusuli dengan jurus ke dua, ketiga dan seterusnya namun sejauh ini Sei Han Li berhasil mengelak dari serangan goloknya. Dengan mengereng murka, Coa Kiu memainkan golok semakin menghebat, melancarkan serangan-serangan maut. Ilmu golok yang dimainkan merupakan ilmu kebanggaannya, hasil petunjuk seorang tokoh hitam angkatan tua yang terkenal. Pertempuran itu semakin hebat, terjangan Coa Kiu membuat Sie Han Li sedikit kewalahan. Ini adalah pertempuran pertamanya sejak turun gunung hingga tidak heran hatinya rada gugup, terlebih lawannya ini tidak boleh di anggap enteng. Sebenarnya ilmu silat yang dipelajarinya selama ini mampu untuk menghadapi lawan setingkat Coa Kiu ini tapi karena hatinya goyah, Sie Han Li menjadi keteteran dan tertekan lawan. Coa Kiu sendiri tidak kalah kagetnya melihat seorang pemuda yang belum hilang bau pupuknya ini mempunyai ilmu silat yang mengejutkan. Memang gerakan-gerakannya masih sedikit kaku tapi jurus-jurus yang dimainkan Sie Han Li sungguh lihai, mampu mengimbangi jurus-jurus golok kebanggaannya. Puluhan jurus kembali berlalu, gerakan Sie Han Li semakin lancar. Melihat dirinya masih mampu bertahun sejauh ini, hatinya semakin mantap dan otomatis jurus-jurus yang dimainkannya semakin mantap. Di lain pihak, dari kaget Coa Kiu menjadi semakin murka, mau ditaruh kemana mukanya apabila anak buahnya menyaksikan dirinya tidak dapat merobohkan seorang pemuda tanggung. Diam-diam dirinya meulai mempersiapakn jurus-jurus simpanan yang biasanya hanya ia keluarkan apabila dalam keadaan terdesak atau menghadapi lawan yang tangguh. Tiba-tiba goloknya berubah menjadi gulungan-gulungan sinar, mengurung seluruh tubuh Sie Han Li dengan mengeluarkan angin yang menderu-deru. Melihatan perubahan ilmu golok lawan bagaikan angin badai menerjang ke arah dirinya, hati Sie Han Li tercekat dan gugup. Belum pernah dirinya mengalami kejadian seperti ini, seolah-olah dari segala penjuru, beberapa puluh batang golok mengincar setiap titik-titik mematikan di tubuhnya. Dengan terburu-buru Si Han Li berusaha menghindar ke sana kemari namun ujung golok Coi Kiu seolah mempunyai mata, terus mengincar tubuh lawan. Situasi berubah dengan cepat, keadaan Sie Han Li bagaikan perahu di lautan luas yang diterjang badai ombak dari segala arah. Sambil bersuit keras Sie Han Li berusaha keluar dari kurungan golok lawan, gerakan tubuhnya berubah menjadi bayangan, berkelabat ke sana kemari, semakin lama semakin cepat, bayangan tubuhnya terlihat kabur. Namun dalam suatu kesempatan, ujung golok Coa Kiu gagal diantisipasi Sie Han Li. Sekonyong-konyong Sie Han Li merasakan bahu kirinya sakit tak terperikan, cocoran darah segar segera mengalir dengan deras dari bahunya. Melihat goloknya berhasil menembus bahu lawan, Coa Kiu semakin bersemangat. Dengan beringas goloknya menyambar-nyambar mencari sasaran baru. Gerakan tubuh Sie Han Li sendiri sedikit sempoyongan, darah segar yang terus mengalir dari balik bahu, membuat dirinya sedikit lemas. Sambil mengigiit ujung bibirnya keras-keras, Sie Han Li berusaha bertahan bagaikan seekor kijang yang dikejar harimau buas. Situasinya benar-benar berbahaya bagi jiwa Sie Han Li, setiap waktu tubuhnya yang mulai melemah rentan ditembus ujung golok Coa Kiu. Suatu ketika, ujung golok Coa Kiu kembali berhasil menggores lengan kanan lawan dan membuat gerakan Sie Han Li semakin lemah. Di saat yang benar-benar berbahaya tersebut, tiba-tiba selapis sinar kecil berwarna kehijau-hijauan menyelak diantara gulungan sinar golok yang mengurung tubuh Sie Han Li, langsung mengancam mata kiri Coa Kiu. Coa Kiu sendiri yang gembira melihat sebentar lagi dapat merobohkan lawan, terkesiap melihat secersik senjata rahasia menyambar ke arah matanya. Dengan tergopoh-gopoh ia menarik goloknya dan mundur kebelakang beberapa tindak. Untung berkat kesigapannya, am-gi yang menyambar datang dengan kecepatan kilat tersebut dapat dihindarinya, lewat beberapa dim di samping kepalanya. Hatinya semakin tercekat ketika mengetahui senjata rahasi yang menyambar tadi adalah hanya selembar daun saja. Dari arah sebelah timur dari balik rerimbunan pohon nampak muncul dua sosok tubuh. Sosok pertama adalah seorang nenek tua berjalan mendekat sambil mememegang tongkat, jalannya sedikit terseok-seok tanda usia tua mulai mempengaruhi tubuhnya yang ringkih. Rambutnya sudah memutih seluruhnya, raut wajahnya berkeriput namun masih nampak garis-garis kecantikan di masa muda. Di sebelah nenek tua itu, berjalan seorang gadis remaja berusia belasan tahun, mungkin sekitar tiga belas tahunan. Wajahnya cantik, putih segar dengan sepasang alis yang lentik dan sinar mata yang jernih. Dapat dipastikan beberapa tahun lagi, gadis remaja ini akan menjelma menjadi dara muda yang memiliki kecantikan yang sangat sempurna. Gerak-geriknya lincah, sambil memegang tangan si nenek, gadis tersebut mengamati ke sekelilingnya dengan pandangan yang riang gembira bagaikan seekor burung yang baru lepas dari sangkarnya. "Siapa yang melepaskan am-gi tadi, berani sekali mencampuri urusanku!" bentak Coa Kiu sambil memandang ke arah si nenek tau dan si gadis remaja. "Siau Yi Yi kecil, coba engkau bereskan orang yang teriak-teriak tadi, kupingku rasanya pekak mendengarnya." "Baik Nek!" jawab gadis kecil yang dipanggil Siau Yi ini. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat lincah bagaikan seekor kupu-kupu kecil, tubuhnya yang ramping melayang ke arah Coa Kiu. Kecepatannya sungguh sangat mengagumkan, tahu-tahu dalam waktu sepersekian detik tiba dihadapan Coa Kiu, tanganya yang langsing lansung menyambar ke arah wajah Coa Kiu. Coa Kiu sendiri hanya melihat sekelabatan bayangan kecil yang tak dapat diikuti dengan matanya yang tajam, tahu-tahu mukanya yang berewokan merasakan tamparan yang membuatnya terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak. Belum sempat bereaksi, kembali datang serangan ke arah mukanya. Kali ini Coa Kiu berusaha menghindar namun tetap saja terlambat. Ia hanya merasakan wajahnya sangat sakit terutama di bagian sekitar berewoknya. Ternyata gadis kecil ini masih belum hilang sifat kekanak-kanakannya, melihat janggut yang demikian lebat di wajah Coa Kiu, dirinya merasa geli sendiri hingga dengan reflek ia mencabut bulu-bulu tersebut. Sambil mengereng murka, Coa Kiu mengayunkan goloknya ke arah si gadis kecil itu. Serangan yang dilakukannya ini sungguh merupakan serangan mengadu jiwa. Hal ini dapat dimaklumi, berewoknya ini merupakan kebanggaan Coa Kiu dan sekarang hanya dalam satu dua gebrakan saja, dirinya dipercundangi lawan yang masih bau pupuk, di tampar dan di cabut berewoknya. Muka Coa Kiu sekarang sungguh menyeramkan, dengan mata melotot dan tetesan darah kecil keluar dari pori-pori wajahnya. Namun kali ini Coa Kiu ketemu batunya, tak peduli segala macam serangan maut yang dilancarkannya, tak berhasil menyentuh seujung kain baju Siau Yi. Bahkan dengan gerakan yang sangat aneh, Siau Yi kembali berhasil menampar wajah Coa Kiu hingga mukanya semakin bengap. "Siau Yi, jangan main-main lagi. Segera bereskan penjahat itu!" seru si nenek dengan suara parau, lalu terbatuk-batuk tanpa henti." Mendengar perintah neneknya itu, Siau Yi memperhebat gerakannya. Sie Han Li sendiri yang menyaksikan pertandingan tersebut sampai ternganga kagum. Selama hidupnya belum pernah ia melihat demonstrasi ilmu silat yang sedemikian lihainya. Dia sendiripun harus berjuang keras melawan Coa Kiu namun seorang gadis kecil mampu mempermainkan Coa Kiu sedemikian rupa seolah-olah Coa Kiu bukan merupakan lawan setimpal. Tak makan waktu lama Coa Kiu harus mengakui kelihaian Siau Yi, tubuhnya yang tegap sudah beberapa kali kena hajar. Sadar akan bahaya yang akan menimpanya apabila terus nekat melawan si gadis kecil ini, dengan menekan rasa malunya Coa Kiu berniat melarikan diri. Dengan pengalamnnya bertemmpur, pada saat yang tepat tiba-tiba Coa Kui membentak dan mengerahkan seluruh kemampuannya segera berputar cepat sekali untuk menangkis pukulan si gadis. Tentu saja dengan gerakan nekat itu si gadis tak mau rugi, sehingga sedikit mengendorkan serangannya. Melihat ini, si kepala rampok mencelat kebelakang dan melompat hendak melarikan diri. Namun tiba-tiba saja berkelebat si titik bayangan hitam segera menempus batok kepalanya, seketika itu juga Coa Kiu terjerembab ke tanah di depannya, tubuhnya berkelejotan sesaat kemudian terdiam untuk selamanya. Rupanya kepalanya sudah terlubangi oleh batu kerikil sebesar kelereng yang dilemparkan si nenek sakti itu. "Siau Yi, kenapa kau biarkan penjahat itu kabur?" "Aku... aku.... hanya..." Gagap si gadis ditanya seperti itu. "Sudahlah kau memang belum banyak pengalaman" Si nenek kemudian bergerak perlahan menghampiri Sie Han Li, yang sedari tadi terbengong-bengong menyaksikan pertempuran yang berlangsung cepat itu. "Siapa namamu... untuk apa kau datang kemari?" si nenek bertanya dengan nada ketus, kelihatannya dia memandang rendah sekali kepada pemuda itu. "Cahye bermarga Sie bernama Han Li, dan sedang dalam perjalanan kebetulan lewat kemari, lalu kemudian hendak dirampok oleh penjahat tadi. Untung bertemu dengan Lo Cianpwe yang mulia hingga penjahat tersebut dapat dikalahkan oleh adik kecil yang lihai itu" Jawab Han Li dengan nada yang cukup sopan dan sedikit menyanjung, meskipun dia tidak dipandang sebelah mata oleh si nenek. Han Li cukup cerdik dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya. Karena jika si nenek tahu bahwa dia membawa peta kuno berisi rahasia ilmu silat mandraguna, bukan tidak mungkin ikut mengkangkanginya juga. Mendengar ucapan yang menyanjung itu, sedikitpun si nenek tak terlihat senang, malah kemudian berucap. "Siau Yi, sekalian bereskan juga pemuda itu" "Ta... Tapi kelihatannya dia bukan orang jahat popo" "Oh... jadi kau sudah mulai bisa membantah popo yah!" si nenek yang dipanggil popo itu berkata dengan bengis. "Mak... maksudku bukan begitu popo...hmmm... bagaimana bila kita bawa pulang saja untuk dijadikan kacung" desak si gadis itu. Berpikir sebentar kemudian si popo berkata "Terserahlah... cepat bekuk dulu pemuda itu" "Baik popo" sigadis mengiyakan. sambil terus meloncat menghampiri Han Li. "Ikutlah bersama kami pulang... jangan melawan" Melihat ini Han Li bermaksud untuk melarikan diri, mana mau dia ditangkap. Tujuannya kemari untuk mengambil pusaka yang tercantum dalam peta kuno, bukan untuk menjadi kacung segala. Karena tidak bermaksud untuk melukai Han Li, gadis itu beserta si nenek yang melangkah dibelakangnya hanya mengurung saja dan membiarkan pemuda itu mendaki puncak dan mencapai jalan buntu. Tak berapa lama kemudian benar saja Han Li terdesak ke jalan buntu, disisi kanan kirinya terdapat tebing yang tinggi sekali, mustahil untuk di panjat naik, dibelakangnya terdapat jurang yang mengalirkan air terjun yang deras sekali. Terdengar bergemuruh keras sekali. "Sudahlah, lebih baik kau menyerah saja, tak ada jalan lain lagi untuk meloloskan diri" kata si gadis sambil tersenyum manis. Melihat si gadis tak berniat untuk mencelakainya, dia mulai memberanikan diri untuk bernegosiasi. "Jangan mendekat... atau aku akan melompat" "Eh.. tunggu.. tunggu.. kenapa kau ingin melompat.. apakah lebih baik mati daripada ikut dengan kami?" "Lelaki sejati boleh dibunuh tapi pantang di hina" jawab Han Li dengan tegas. Mendengar ucapan "Lelaki Sejati" itu tiba-tiba wajah si nenek berubah bengis sekali, dan seketika itu juga melontarkan pukulan jarak jauh pada tubuh Han Li. Tentu saja Han Li terbanting jatuh kebawah jurang tanpa mampu berteriak sedikitpun sambil membawa luka yang cukup serius. - demonking- Terjebak di Tanah Antah-berantah SEBUAH segitiga berujung tajam menancap dalam hingga melesak hampir separuhnya pada kulit sebatang pohon. Sebagian malah melesak ke batangnya. Batang pohon kiara itu tergolong keras. Jadi, bisa dibayangkan betapa kuatnya tenaga yang dilepaskan orang yang melontarkan senjata rahasia itu. Kalau saja Jaka Wulung tidak menubruk Ciang Hui Ling, gadis itu tentu akan menjadi mangsa yang empuk. Segitiga itu menancap di pohon dengan ketinggian sekitar pundak Jaka Wulung. Jadi, senjata itu mengarah ke leher Ciang Hui Ling, salah satu sasaran yang mematikan di tubuh manusia. Sekali menancap di leher seseorang, jalan napas akan langsung terputus. Jaka Wulung menarik segitiga berujung tajam itu dari kulit dan batang kiara. Dibutuhkan pengerahan tenaga yang cukup besar bagi sang pendekar belia untuk menarik segitiga maut itu. Senjata rahasia adalah sesuatu yang dibenci Jaka Wulung. Dia sudah merasakan “senjata rahasia” berupa pistol. Bahkan, luka di lengannya masih terasa sedikit ngilu. Menurut pemikiran sederhana Jaka Wulung, senjata rahasia adalah ciri orang pengecut. Apa pun jenisnya, sumpit, jarum, dan sebagainya. Mereka memanfaatkan kelengahan lawan. Mereka menghindari sikap kesatria untuk berhadapan langsung dalam pertempuran yang adil. Jaka Wulung mencoba menerka asal segitiga maut itu dari arah lemparannya. Tentu saja, dari arah selatan, dari sebuah gerumbul perdu yang rapat. Ada beberapa gerumbul di sekitar tempat itu. Juga pepohonan besar meskipun tumbuh tidak terlalu rapat. Namun, gerumbul yang satu itu diam tak bergerak. Dedaunannya seakan-akan merupakan patung belaka. Dan kediaman itu justru mencurigakan karena angin di sekitarnya berembus cukup kencang untuk menggoyang gerumbul-gerumbul yang lain. Ada orang di balik gerumbul itu, yang sengaja menahan rerantingnya supaya tidak menimbulkan gerakan sekecil apa pun pada daun-daunnya. Sungguh ilmu yang pantas dikagumi. Sekaligus sebuah kesalahan besar. Jaka Wulung menjentikkan jemarinya. Segitiga bersisi tajam itu pun meluncur mendesing mengarah ke gerumbul yang mencurigakan di depannya. Jaka Wulung sengaja melakukan serangan untuk mendahului kemungkinan serangan gelap dari orang di balik gerumbul itu. Menyerang adalah pertahanan terbaik. Dia juga sengaja mengarahkan segitiga maut itu agak ke bawah. Akan tetapi, sebelum segitiga itu mengenai sasarannya, seseorang di balik gerumbul itu sudah lebih dulu meloncat keluar, lalu melarikan diri dengan cepat ke selatan. Siapa pun orang itu, dia mampu menghindari jentikan segitiga maut, senjata yang tadi dia lemparkan sendiri, dari tangan Jaka Wulung. Jelas, bisa disimpulkan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tidak bisa dianggap ringan. Siapa dia? Hanya pakaian putih dan ikat kepala hitam yang bisa dilihat dari belakang. Orang itu sudah melesat jauh dari gerumbul yang dia tinggalkan. Jaka Wulung menoleh memandang Ciang Hui Ling sejenak saja, sebelum meloncat dan melesat mengejar orang itu. Ciang Hui Ling tidak perlu berpikir lama untuk juga melenting dan mencoba mengikuti gerakan Jaka Wulung. Sambil berlari, Jaka Wulung berkata pelan, “Maaf, Lingling, kita tampaknya harus melupakan dulu urusanmu.” Ciang Hui Ling menoleh dan menjawab, “Ini juga urusanku, Jaka. Senjata itu mengarah kepadaku, lagi pula ....” Ciang Hui Ling menghentikan kata- katanya. Jaka Wulung menoleh. Menunggu kata-kata lanjutan gadis itu. “ Urusanmu urusanku juga.” Jaka Wulung tersenyum, “Ayo!” Pepohonan di sekitar tempat itu makin lama makin rapat, dan Jaka Wulung serta Ciang Hui Ling mesti berhati-hati mengejar orang itu. Jaka Wulung kemudian bahkan menyilakan Ciang Hui Ling berada sedikit di depan. Bagaimanapun, Ciang Hui Ling, yang sudah bertahun-tahun tumbuh di sepanjang Ci Liwung, jauh lebih mengenal tempat itu dibandingkan dengan Jaka Wulung, yang lebih banyak mengandalkan naluri. Di bawah didikan Tan Bo Huang, Ciang Hui Ling memang tumbuh menjadi anak yang tidak suka bermanja-manja di sekitar pondok. Dia kerap menelusuri sepanjang tepi Ci Liwung, baik ke arah hilir hingga muara maupun arah hulu hingga jauh ke dalam hutan. Tidak jarang, dia melakukannya sendirian, tanpa setahu Tan Bo Huang, yang kerap membuat sang guru itu kelimpungan karena cemas akan keselamatan murid sekaligus putri sahabatnya. Sebab, kadang Ciang Hui Ling terlampau meremehkan keadaan. “Awas, Lingling!” Sebuah benda logam tipis berkilat melesat mengarah menuju mereka. Benda itu berputar dengan cepat sehingga yang tampak adalah sebuah bundaran yang kabur. Ziiing! Orang yang mereka buru melepaskan senjata mautnya, segitiga logam bersisi tajam. Orang itu tampaknya merasa bahwa ilmu lari cepatnya masih kalah tatarannya dibandingkan dengan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Karena itu, berbekal senjata mautnya berupa segitiga bersisi tajam, sang buruan berupaya supaya tidak tertangkap. Setidaknya, dia bisa menunda waktu sebelum muncul bantuan. Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling terpaksa menahan langkah untuk menghindari ancaman maut itu. Segitiga logam bersisi tajam itu lewat mendesing hanya sejengkal-dua jengkal dari wajah mereka. Jika sudah begitu, jarak antara Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dengan buruan mereka menjadi renggang lagi. Beberapa kali orang itu melepaskan senjata mautnya sembari berlari tanpa menoleh ke belakang, dan tiap kali itu juga, senjatanya tetap mengincar titik berbahaya Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Jelas bahwa orang itu memiliki naluri yang sangat peka, yang hanya dimiliki orang yang sangat terlatih, dan hal itu memberinya waktu yang lapang untuk menyelamatkan diri. Beberapa kali pula, langkah lari cepat Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling harus tertahan. Dan hal itu, lama-kelamaan menjengkelkan Jaka Wulung. Dia pun bersiap mengambil napas untuk melipatgandakan tenaga lari cepatnya. Akan tetapi, pada saat itulah, si orang buruan mendadak berbelok secara tajam menjauh dari tebing sungai, mengarah ke timur, menuju kerimbunan hutan yang makin rapat. Siapa sebenarnya orang itu? Apa tujuannya menyerang dia dan Ciang Hui Ling? Jaka Wulung merasa tidak memiliki persoalan dengan orang-orang yang menggunakan senjata rahasia berupa segitiga logam bersisi tajam. Pada saat mereka tiba di Pelabuhan Kalapa, sempat terjadi kehebohan ketika seseorang tewas akibat senjata maut itu. Tapi, mereka tidak terlalu memedulikan peristiwa itu karena mereka berpikir bahwa kejadian itu tidak berkaitan dengan diri mereka. Lalu, mengapa kini yang menjadi sasaran adalah mereka sendiri? Dari kelompok atau perguruan manakah orang itu berasal? Jaka Wulung yakin bahwa orang itu tidaklah sendirian. Sangat mungkin bahwa orang itu hanya salah satu anggota kelompok besar dengan tujuan yang belum diketahui secara pasti. Apa yang dilakukan oleh orang itu tampaknya sudah direncanakan dengan matang. Dari kelompok apakah orang itu berasal? Dari perguruan manakah? Kalau benar bahwa dia berasal dari sebuah kelompok tertentu, apakah mereka juga yang melakukan pembakaran terhadap pondok Tan Bo Huang dan membawa pergi pendekar gagah berjulukan Naga Kuning dari Ci Liwung itu? Kalau benar bahwa mereka kelompok yang mampu membawa, apalagi membinasakan, Tan Bo Huang, tentu mereka adalah kelompok yang sangat kuat. Memiliki pemikiran yang seperti itu, Jaka Wulung menjadi berdebar- debar. Jika benar dugaannya, tentu dia dan Ciang Hui Ling sedang menuju sarang buaya yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, Jaka Wulung makin berhati-hati dan waspada. Segera dia kerahkan kepekaan naluri dan pancaindranya hingga tataran yang tinggi untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka sudah makin jauh dari titik awal keberangkatan dari pondok Tan Bo Huang. Jauh ke selatan. Tidak hanya itu, mereka sudah jauh dari daerah tepi Sungai Ci Liwung. Jauh ke timur. Begitu jauhnya sehingga Ciang Hui Ling sendiri lama-kelamaan sadar bahwa dia belum pernah merambah daerah itu. Daerah yang baginya masih antah-berantah. Jalan yang mereka tempuh terus menanjak meskipun tidak terlalu curam kemiringan tanahnya. Perdu dan pepohonan makin rapat. Matahari yang mulai condong ke barat menimpa punggung mereka. Akan tetapi, bahkan sinar matahari pun lama-kelamaan tidak lagi terasa menyengat karena lebih banyak terhalang oleh batang dan dedaunan hutan. Makin lama, mereka pun makin terseret jauh ke dalam hutan lebat. Barangkali, inilah sebab mengapa sungai itu dinamakan Ci Liwung. Kata liwung, yang dilekatkan dengan kata luwang menjadi luwang-liwung, berarti hutan belantara. Mereka kini berada di hutan belantara. Bagi Jaka Wulung, hutan belantara bukanlah tempat yang asing. Semenjak kecil, dia terbiasa tersaruk-saruk di rimba, bahkan sampai tersasar di Bukit Baribis, bertemu dengan Ki Jayeng Segara dan murid-muridnya, dan yang kemudian mengubah jalan hidupnya ketika dia nyaris tewas karena jatuh ke jurang Ci Gunung, sebelum diselamatkan Resi Darmakusumah. Akan tetapi, Ciang Hui Ling, kendatipun bukan jenis anak penakut, belum terbiasa masuk terlalu jauh ke kedalaman hutan. Karena itu, kini Jaka Wulung-lah yang berada di depan. Kini, orang yang mereka buru bahkan sudah tidak kelihatan lagi. Jejak yang ditinggalkannya, baik berupa jejak kaki di tanah maupun reranting patah, nyaris tidak lagi bisa dikenali. Tahu-tahu, mereka sudah berada di sebuah tanah yang lapang, sebidang lahan selebar kira-kira tiga puluh langkah, berumput tebal dan dikelilingi pepohonan hutan yang rapat. “Jaka, tampaknya kita terjebak.” “Ya, berhati-hatilah, Lingling.” Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri beradu punggung, memandang sekitar dengan tatapan setajam mata elang. Selain bebunyian dedaunan dan angin lemah, tidak terdengar suara lain. Nyaris sunyi. Sunyi yang mencengkeram jantung. Sungguh aneh, hutan itu sama sekali tidak memperdengarkan bunyi binatang apa pun. Seakan-akan binatang pun enggan menyambut kedatangan mereka. Hening. Hening yang menjebak. Tiba-tiba di keheningan itu mendesing sesuatu, dari arah Ciang Hui Ling menghadap. Dengan cepat, Ciang Hui Ling menghunus pedangnya untuk menangkis benda yang meluncur ke arahnya. Secara naluriah, dia tidak ingin menghindar karena itu berarti akan menyebabkan sesuatu itu akan meluncur dan mungkin saja mengenai Jaka Wulung yang berada di belakangnya. Terdengar suara denting yang keras disertai letikan bunga-bunga api ketika pedang Ciang Hui Ling berbenturan dengan benda itu. Ciang Hui Ling merasakan genggaman tangannya bergetar ketika terjadi benturan. Benda itu memantul dan jatuh sekitar lima langkah dari Ciang Hui Ling. Sebatang tombak pendek dan tipis terbuat dari baja! “Bagus, Lingling,” bisik Jaka Wulung. Hening lagi. Tapi, hanya beberapa jenak. Dari arah Jaka Wulung menghadap, melesat sebuah benda yang berkilau keperakan. Jaka Wulung memiliki pikiran yang sama, yakni dia tidak berniat menghindar karena benda itu tentu akan mengarah kepada Ciang Hui Ling di belakangnya. Karena itu, dengan cepat, dia menarik senjatanya, kudi hyang, yang sangat jarang dia gunakan, kecuali pada saat- saat sangat terdesak—sebuah benda pusaka yang secara ajaib dia terima dari leluhur yang paling dihormati bangsa Sunda, Prabu Niskala Wastukancana. Terdengar dentang yang lebih keras dan bunga api yang lebih menyilaukan, meskipun saat itu siang masih benderang, ketika kudi hyang Jaka Wulung berbenturan dengan benda berkilau keperakan itu. Benda itu memantul, berbalik arah dan melesat ke arah semula. Sebilah pedang pendek, pikir Jaka Wulung. Terdengar suara gemeresik di balik gerumbul, beberapa puluh langkah di depan Jaka Wulung. Tapi, tidak terdengar pekik atau teriak kesakitan. Si pelempar pedang itu tentu berhasil menghindari serangan balik yang dilakukan Jaka Wulung. Hening lagi. Tapi, udara seakan-akan bergetar oleh tegangan yang ditimbulkan oleh kesunyian. Pedang ramping Ciang Hui Ling teracung di depan dadanya. Tangan kirinya mengepal. Kudi hyang melintang di depan dada Jaka Wulung. Telapak tangan kirinya lurus dengan jemari yang rapat. Pada saat yang bersamaan, meluncur empat macam benda dari empat arah yang berbeda. Masing-masing dari arah depan Jaka Wulung, dari arah kanan dia, dari arah depan Ciang Hui Ling, dan dari arah kanan gadis itu. Pada saat yang sama pula, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling menggerakkan senjata mereka menyambut masing-masing dua benda yang melesat ke arah mereka. Terdengar empat kali suara denting dan empat semburan bunga api ketika senjata mereka berbenturan dengan empat senjata yang dilepaskan dari empat penjuru. Dua senjata memantul oleh pedang Ciang Hui Ling, sama-sama terlontar ke udara, lalu hampir berbarengan jatuh bergeletakan sekitar dua langkah di depannya. Sebilah golok dan pedang pendek. Dua senjata lainnya terpental oleh entakan kuat kudi hyang Jaka Wulung. Sebatang trisula, senjata berujung tiga, melenting jauh dan menembus segerumbul perdu. Sebatang tombak pendek patah nyaris di titik tengah, bagian pangkalnya jatuh di tanah, tapi bagian ujungnya melesat kembali mengarah ke asal datangnya benda itu, menembus kedalaman hutan, tanpa suara. Hening lagi di tempat itu. Bayang-bayang perdu makin memanjang di bagian timur. “Hati-hati, Lingling, ini baru pemanasan,” bisik Jaka Wulung. “Ya,” Ciang Hui Ling mengangguk. Ketegangan merambat di udara. Dari kening Ciang Hui Ling, menetes sebutir air bening. Keringat yang hangat. “Bersiaplah,” bisik Jaka Wulung lagi.[]

cerita silat mandarin pendekar matahari